KOPERASI : HIDUP
SEGAN MATI TAK MAU
Mata Kuliah :EKONOMI KOPERASI#
Nama :
Ajeng Dina Wulandari
Npm :
2B216139
Kelas :
2EB21
Latar Belakang
Koperasi adalah organisasi ekonomi yang dimiliki dan dioperasikan oleh orang-seorang demi
kepentingan bersama. Koperasi melandaskan kegiatan berdasarkan
prinsip gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan. Koperasi di Indonesia, menurut UU tahun
1992, didefinisikan sebagai badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau
badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip
koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Di Indonesia, prinsip koperasi
telah dicantumkan dalam UU No. 12 Tahun 1967 dan UU No. 25 Tahun 1992.
Prinsip koperasi di Indonesia kurang lebih sama
dengan prinsip yang diakui dunia internasional dengan adanya sedikit perbedaan,
yaitu adanya penjelasan mengenai SHU (Sisa Hasil Usaha).
Pembahasan
Nasib
koperasi di Indonesia semakin muram, tak ditangani sepenuh hati. Pemerintah
agaknya lebih menekankan pada sistem ekonomi neoliberal. Cita-cita untuk
menjadikan koperasi sebagai sokoguru perekonomian Indonesia, agaknya semakin
jauh panggang dari api. Kondisi koperasi, terutama KUD (Koperasi Unit Desa),
bak kerakap tumbuh diatas batu, mati enggan hidup pun tak mau. Justru yang
lebih sering terdengar datang dari berbagai pelosok negeri, kegagalan demi
kegagalan yang terjadi pada koperasi. Meski pemerintah memiliki kementerian
yang menangani koperasi, namun kemauan pemerintah membangun koperasi belum
sepenuh hati. Pemerintah lebih berasyik masuk dengan pembangunan sistem ekonomi
yang tak pro rakyat, yakni sistem ekonomi neoliberal.
Padahal
antara sistem ekonomi neoliberal dan koperasi ibarat air dan minyak. Keduanya
saling bertentangan dan mustahil untuk bisa berdampingan ataupun seiring
sejalan. Kalau boleh diumpamakan, antara ekonomi neoliberal dan koperasi ibarat
langit dan bumi. Kenapa? Ekonomi neoliberal menyerahkan perekonomian pada
mekanisme pasar dan padat modal, dan yang terjadi kemudian yang kaya semakin
kaya, dan orang miskin tetap melarat. Sedang koperasi bertujuan untuk
memperjuangkan kemakmuran bagi anggotanya.
Kalau
dilihat dari pertumbuhan koperasi, dari tahun ke tahun memang terjadi
peningkatan, namun seiring dengan itu terdengar pula nasib buruk menimpa
koperasi. Pada tahun 2010 misalnya, jumlah koperasi di Indonesia mencapai
170.411 unit dengan jumlah anggota 29,240 juta. Terjadi peningkatan 9,97%
dibanding 2008. Dari segi volume usaha, pada 2010 mencapai Rp 82,1 triliun atau
naik 19,95% dibanding volume usaha pada 2008. Tapi, angka capaian yang
diperoleh koperasi itu belum bisa dikatakan sebuah keberhasilan yang pantas
disambut dengan gegap gempita, Soalnya, anggota Majelis Pakar DEKOPIN
(2010-2015), DR. Ir. Hj. Endang Setyawati Thohari, M.Sc., melihat lebih dari
10% koperasi yang ada di Indonesia itu sudah tidak aktif lagi. Dan, sebagian
besar koperasi yang beroperasi lagi tersebut berada di daerah pedesaan, yang
lebih dikenal sebagai Koperasi Unit Desa (KUD).
Padahal,
menurut Ketua Bidang Koperasi HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) ini, KUD
dalam perjalanannya merupakan salah satu basis sektor primer yang memberikan
lapangan kerja terbesar bagi penduduk Indonesia. Artinya, kemandegan KUD
menjadi cermin seretnya kemajuan perekonomian di pedesaan. Dan, ini membuat
ancaman pengangguran di pedesaan semakin bertambah. Dari sini, kata Endang
Thohari, tampak jelas bahwa kemauan pemerintah membangunan perekonomian
berbasis kerakyatan, koperasi, belum sepenuh hati. Endang Thohari punya alasan
menyatakan pemerintah tak serius memajukan perekonian di sektor koperasi ini.
Karena, banyak program yang sesungguhnya bisa bermanfaat besar bagi masyarakat,
namun tidak tersosialisasikan dengan baik. Salah satu contohnya, soal
standarisasi aturan pendirian koperasi yang tidak jelas. Akibatnya,
masing-masing notaris memiliki aturan yang berbeda-beda dalam menentukan
persyaratan pendirian koperasi. Situasi ini diperparah lagi oleh kemauan
pemerintah yang terlanjur memilih sistem ekonomi liberal sebagai jiwa
pembangunan ekonomi Indonesia. Padahal ekonomi pedesaan pada umumnya dan
koperasi khususnya, tidak mungkin dibiarkan sendiri “berperang” menghadapi para
pengusaha yang memiliki modal raksasa. ”Seharusnya, pemerintah memberi
perlindungan, perhatian dan bantuan lebih besar pada koperasi dan perekonomian
desa,” ujar Endang Thohari.
Hambatan
lain yang dihadapi koperasi atau ekonomi kerakyatan adalah dari sisi
permodalan. Kemampuan koperasi, terutama KUD, untuk mendapatkan akses
pembiayaan terkendala aturan main yang ada di bank. Padahal dana masyarakat
yang terkumpul di bank sudah mencapai Rp 2.100 trilliun. Sesuai dengan
ketentuan perbankan, 80% dari dana masyarakat itu seharusnya dikembalikan ke
masyarakat dalam bentuk pinjaman atau Loan Deposit Ratio (LDR). Tapi,
kenyataannya, hingga 2010 pengembalian dana atau LDR perbankan ke masyarakat,
misalnya untuk sektor pertanian, baru mencapai 5%. Penyebabnya, tak lain,
karena masyarakat kecil umumnya dan koperasi pada khususnya tidak sanggup
memenuhi syarat untuk mendapatkan kucuran kredit yang dikenal dengan prudential
bank berupa 5 C (capital, condition, character, capacity dan collateral).
Menurut
Endang Thohari, dari kelima prudential bank itu yang paling sulit dipenuhi oleh
koperasi adalah collateral atau agunan. Agunan berupa sertifikat tanah adalah
paling layak oleh bank, tapi bagi petani cukup memberatkan. Karena, sebagian
besar petani pemilik sawah belum tentu memiliki sertifikat. Syarat lainnya,
yang juga sulit, adalah soal karakter hasil pertanian yang dikelola KUD
memiliki risiko yang sangat besar. Perbankan menganggap syarat ini penting
lantaran sifat barang-barang produk pertanian mudah rusak, dan tidak tahan lama
Kesimpulan
Di Indonesia, koperasi cuma identik dengan
Koperasi Unit Desa (KUD) di wilayah pedesaan yang bergerak di simpan pinjam.
Koperasi identik dengan usaha ecek-ecek dan tidak dibranding menjadi sebuah
usaha dengan karakteristik yang modern, professional dan bagus. Padahal
koperasi seharusnya menjadi sokoguru perekonomian Indonesia, hanya saat
ini dapat dikatakan kekurangan banyak hal – hal yang membuat koperasi
tidak di minati lagi oleh masyarakat bahkan Sumber Daya Manusia lokal pun
enggan untuk berpartisipasi dalam kegiatan koperasi, dengan adanya
kondisi seperti ini menjadi pengurus koperasi pun bukan menjadi suatu pilihan
utama, dan juga menjadi anggota atau pemberi dana kepada koperasi menjadi tidak
diminati lagi.
SUMBER
Tidak ada komentar:
Posting Komentar