Kriiing..kriiing
Terdengar
suara bel sepeda ayah ku, memberi tanda bahwa sudah siap untuk mengantar aku
sekolah.
"Nia,
sudah siap nak?" tanya Ayah.
"Ya,
Ayah. Tunggu sebentar, aku sedang merapihkan rambutku." jawab ku.
"Siap
anak Ayah, itu ibu sudah mempersiapkan sarapan untuk kita." sahut Ayah.
Akhirnya
setelah semua telah siap, aku sarapan dan berangkat sekolah diantar ayahku.
Oh ya,
namaku Tania Indriyani, aku anak pertama dari 3 bersaudara. Kedua adik ku
laki-laki. Aku berasal dari keluarga sederhana, namun tetap bahagia. Ayah ku
hanya bekerja sebagai kuli panggul, dan Ibu ku membuka warung nasi di depan
rumah untuk membantu penghasilan Ayah ku. Namun, beliau tetap ikhtiar dan
tawakal dalam menjalani hidup dan membiayai segala keperluan anak-anak nya.
Sesampai nya
di sekolah, seperti biasa aku selalu di ejek oleh geng yang centil
centil itu.
"Eh,
Nia. Urat malu lo ada dimana sih? Masih aja dianter pake sepeda butut punya
ayah lo itu, hahaha." Ejek Sandra, seorang anak tunggal dari seorang
konglomerat nan sombong.
"Tau,
kalo gue sih ya Ndra, gue mending pindah sekolah haha." Sahut Risa, teman
satu geng Sandra.
Aku tak
pernah meng gubris apa yang mereka katakan padaku, bagi ku mereka adalah
sebagian orang yang tidak penting, dan jika aku men gubris atau bahkan
mendendam, hanya membuat hati ini kotor saja. Aku langsung jalan saja ke kelas.
Namun, saat melewati mading, aku membaca bahwa pihak sekolah akan mengadakan
lomba dalam bidang seni musik. Mata ku ter belalak, dan hati ku bergejolak
ingin sekali mengikuti kontes tersebut di bidang biola. Dan aku pun mendaftar.
*Sesampainya
di kelas*
"Nia,
ada lomba seni musik tuh. Kamu ikut?" Tanya Fira.
"Ikut
saja, Nia. Kamu kan pinter banget main biola." Kata Maudy.
"Hm,
aku sih sudah daftar tadi. Doa kan saja, tapi.."
"Tapi
kenapa, Nia?" Tanya Fira.
"Aku
tak punya biola, harga nya pasti mahal." Ujar ku.
"Masalah
itu gampang, aku bisa kok cari pinjam untuk kamu." Ujar Fira.
"Ya,
lagipula masih 3 bulan lagi kok. Ini event besar, Nia. Kamu banyakin latihan
ya. Aku denger dari anak Osis, hadiah nya lumayan." Ujar Maudy.
"Iya
didoakan saja, aku akan mengumpulkan uang." sahut ku
sambil tersenyum.
*Setelah
pulang sekolah*
Dalam
perjalanan pulang sekolah, aku terus menerus berfikir bagaimana cara ku untuk
bisa membeli biola. Dan sampai rumah, aku melihat tabungan ku baru ada 50 ribu
rupiah, tentu itu masih kurang. Aku memberanikan diri untuk bicara sama ibu.
"Ibu,
disekolah ada lomba seni musik, Nia ikut, Bu. Nia ikut lomba biola, dan Nia ingin
sekali punya biola sendiri, Bu. Tapi, uang Nia hanya ada 50 ribu rupiah."
Ucap ku sambil memelas.
"Nak,
biola itu harga nya mahal lho, Ibu tak bisa membeli kan kamu secepatnya, memang
kapan lomba nya?" Tanya Ibu.
"Masih
3 bulan lagi kok, Bu. Nia ingin sekali ikut dan menang dalam lomba itu."
"Ibu
dan Ayah akan berusaha membahagiakan mu, Nak. Dan memenuhi apa yang kamu
butuhkan." Ucap Ibu, lembut. Aku sedikit merasa bersalah telah meminta
dibelikan biola oleh Ibu. Ia pasti berfikir bagaimana cara agar bisa membelikan
ku biola, sedangkan penghasilan saja pas-pas an.
*3 bulan
kemudian*
Hari yang ku
nantikan tiba, namun yang hadir hanya Ayah ku, Ibu tidak bisa hadir karena
mengambil rapor adik. Aku menunggu Ayah di depan sekolah, padahal waktu acara
dimulai tinggal satu jam lagi. 15 menit kemudian, Ayah datang dengan membawa
biola sambil berteriak.
"Nia...
Ini biola yang kamu inginkan, Nak." teriak Ayah sambil mengayuh
sepedah dan tangan kiri memegang biola, menunjukan bahwa beliau telah memenuhi
apa yang aku butuhkan, yaitu sebuah biola.
Namun,
tiba-tiba dari arah barat, ada mobil pick up yang melaju kencang dan menabrak
Ayahku.
"AYAAAAAH!!!"
Teriak ku, histeris.
Aku berlari
menghampiri Ayah dan tak memperdulikan lomba itu. Aku mencoba membangunkan
Ayah, namun nyawa Ayah ku tak tertolong lagi. Ayah ku tewas seketika karna di
tabrak oleh mobil pick up tersebut. Aku amat sedih, sesak, terharu dan merasa
bersalah, apalagi di saat aku membaca secarik kertas di ujung biola yang Ayah
bawa tersebut Di dalam nya dituliskan, "Setiap orangtua menginginkan
anaknya bahagia dengan cara memenuhi kebutuhan anaknya. Semoga menang, Nak!
Dari Ayah dan Ibu" Pilu hati ku, karena Ayah Ibu mengorban kan segala nya
demi membelikan aku sebuah biola.
Namun kini,
biola ini tak akan berdawai sempurna kembali. Dawai sebuah biola, bagiku
seperti hubungan anak dengan orang tua. Anak adalah biola dan orangtua sebagai
dawai nya. Mereka saling bersatu membentuk lantunan nada yang indah.
Terimakasih Ayah Ibu, atas pengorbanan nya untuk membuat aku
bahagia.
Karya : Ajeng Dina W
Tidak ada komentar:
Posting Komentar