MY BLOG

Selasa, 10 Oktober 2017

Biola Tak Berdawai

Kriiing..kriiing

Terdengar suara bel sepeda ayah ku, memberi tanda bahwa sudah siap untuk mengantar aku sekolah.

"Nia, sudah siap nak?" tanya Ayah.

"Ya, Ayah. Tunggu sebentar, aku sedang merapihkan rambutku." jawab ku.

"Siap anak Ayah, itu ibu sudah mempersiapkan sarapan untuk kita." sahut Ayah.

Akhirnya setelah semua telah siap, aku sarapan dan berangkat sekolah diantar ayahku.

Oh ya, namaku Tania Indriyani, aku anak pertama dari 3 bersaudara. Kedua adik ku laki-laki. Aku berasal dari keluarga sederhana, namun tetap bahagia. Ayah ku hanya bekerja sebagai kuli panggul, dan Ibu ku membuka warung nasi di depan rumah untuk membantu penghasilan Ayah ku. Namun, beliau tetap ikhtiar dan tawakal dalam menjalani hidup dan membiayai segala keperluan anak-anak nya.

Sesampai nya di sekolah, seperti biasa aku  selalu di ejek oleh geng yang centil centil itu.

"Eh, Nia. Urat malu lo ada dimana sih? Masih aja dianter pake sepeda butut punya ayah lo itu, hahaha." Ejek Sandra, seorang anak tunggal dari seorang konglomerat nan sombong.

"Tau, kalo gue sih ya Ndra, gue mending pindah sekolah haha." Sahut Risa, teman satu geng Sandra.

Aku tak pernah meng gubris apa yang mereka katakan padaku, bagi ku mereka adalah sebagian orang yang tidak penting, dan jika aku men gubris atau bahkan mendendam, hanya membuat hati ini kotor saja. Aku langsung jalan saja ke kelas. Namun, saat melewati mading, aku membaca bahwa pihak sekolah akan mengadakan lomba dalam bidang seni musik. Mata ku ter belalak, dan hati ku bergejolak ingin sekali mengikuti kontes tersebut di bidang biola. Dan aku pun mendaftar.
*Sesampainya di kelas*

"Nia, ada lomba seni musik tuh. Kamu ikut?" Tanya Fira.
"Ikut saja, Nia. Kamu kan pinter banget main biola." Kata Maudy.
"Hm, aku sih sudah daftar tadi. Doa kan saja, tapi.."
"Tapi kenapa, Nia?" Tanya Fira.
"Aku tak punya biola, harga nya pasti mahal." Ujar ku.
"Masalah itu gampang, aku bisa kok cari pinjam untuk kamu." Ujar Fira.
"Ya, lagipula masih 3 bulan lagi kok. Ini event besar, Nia. Kamu banyakin latihan ya. Aku denger dari anak Osis, hadiah nya lumayan." Ujar Maudy.
"Iya didoakan saja, aku akan mengumpulkan uang." sahut ku sambil  tersenyum.

*Setelah pulang sekolah*

Dalam perjalanan pulang sekolah, aku terus menerus berfikir bagaimana cara ku untuk bisa membeli biola. Dan sampai rumah, aku melihat tabungan ku baru ada 50 ribu rupiah, tentu itu masih kurang. Aku memberanikan diri untuk bicara sama ibu.

"Ibu, disekolah ada lomba seni musik, Nia ikut, Bu. Nia ikut lomba biola, dan Nia ingin sekali punya biola sendiri, Bu. Tapi, uang Nia hanya ada 50 ribu rupiah." Ucap ku sambil memelas.

"Nak, biola itu harga nya mahal lho, Ibu tak bisa membeli kan kamu secepatnya, memang kapan lomba nya?" Tanya Ibu.

"Masih 3 bulan lagi kok, Bu. Nia ingin sekali ikut dan menang dalam lomba itu."

"Ibu dan Ayah akan berusaha membahagiakan mu, Nak. Dan memenuhi apa yang kamu butuhkan." Ucap Ibu, lembut. Aku sedikit merasa bersalah telah meminta dibelikan biola oleh Ibu. Ia pasti berfikir bagaimana cara agar bisa membelikan ku biola, sedangkan penghasilan saja pas-pas an.

*3 bulan kemudian*

Hari yang ku nantikan tiba, namun yang hadir hanya Ayah ku, Ibu tidak bisa hadir karena mengambil rapor adik. Aku menunggu Ayah di depan sekolah, padahal waktu acara dimulai tinggal satu jam lagi. 15 menit kemudian, Ayah datang dengan membawa biola sambil berteriak.

"Nia... Ini biola yang kamu  inginkan, Nak." teriak Ayah sambil mengayuh sepedah dan tangan kiri memegang biola, menunjukan bahwa beliau telah memenuhi apa yang aku butuhkan, yaitu sebuah biola.

Namun, tiba-tiba dari arah barat, ada mobil pick up yang melaju kencang dan menabrak Ayahku.
"AYAAAAAH!!!" Teriak ku, histeris.

Aku berlari menghampiri Ayah dan tak memperdulikan lomba itu. Aku mencoba membangunkan Ayah, namun nyawa Ayah ku tak tertolong lagi. Ayah ku tewas seketika karna di tabrak oleh mobil pick up tersebut. Aku amat sedih, sesak, terharu dan merasa bersalah, apalagi di saat aku membaca secarik kertas di ujung biola yang Ayah bawa tersebut Di dalam nya dituliskan, "Setiap orangtua menginginkan anaknya bahagia dengan cara memenuhi kebutuhan anaknya. Semoga menang, Nak! Dari Ayah dan Ibu" Pilu hati ku, karena Ayah Ibu mengorban kan segala nya demi membelikan aku sebuah biola.


Namun kini, biola ini tak akan berdawai sempurna kembali. Dawai sebuah biola, bagiku seperti hubungan anak dengan orang tua. Anak adalah biola dan orangtua sebagai dawai nya. Mereka saling bersatu membentuk lantunan nada yang indah. Terimakasih Ayah Ibu, atas  pengorbanan nya untuk membuat aku bahagia.




Karya : Ajeng Dina W

Softskill Ekonomi Koperasi "Hidup Segan Mati Tak Mau"

KOPERASI : HIDUP SEGAN MATI TAK MAU



Mata Kuliah    :EKONOMI KOPERASI#
Nama              : Ajeng Dina Wulandari
Npm                : 2B216139
Kelas              : 2EB21


Latar Belakang

Koperasi adalah organisasi ekonomi yang dimiliki dan dioperasikan oleh orang-seorang demi kepentingan bersama. Koperasi melandaskan kegiatan berdasarkan prinsip gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan asas kekeluargaan. Koperasi di Indonesia, menurut UU tahun 1992, didefinisikan sebagai badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan. Di Indonesia, prinsip koperasi telah dicantumkan dalam UU No. 12 Tahun 1967 dan UU No. 25 Tahun 1992. Prinsip koperasi di Indonesia kurang lebih sama dengan prinsip yang diakui dunia internasional dengan adanya sedikit perbedaan, yaitu adanya penjelasan mengenai SHU (Sisa Hasil Usaha).

Pembahasan

Nasib koperasi di Indonesia semakin muram, tak ditangani sepenuh hati. Pemerintah agaknya lebih menekankan pada sistem ekonomi neoliberal. Cita-cita untuk menjadikan koperasi sebagai sokoguru perekonomian Indonesia, agaknya semakin jauh panggang dari api. Kondisi koperasi, terutama KUD (Koperasi Unit Desa), bak kerakap tumbuh diatas batu, mati enggan hidup pun tak mau. Justru yang lebih sering terdengar datang dari berbagai pelosok negeri, kegagalan demi kegagalan yang terjadi pada koperasi. Meski pemerintah memiliki kementerian yang menangani koperasi, namun kemauan pemerintah membangun koperasi belum sepenuh hati. Pemerintah lebih berasyik masuk dengan pembangunan sistem ekonomi yang tak pro rakyat, yakni sistem ekonomi neoliberal.
Padahal antara sistem ekonomi neoliberal dan koperasi ibarat air dan minyak. Keduanya saling bertentangan dan mustahil untuk bisa berdampingan ataupun seiring sejalan. Kalau boleh diumpamakan, antara ekonomi neoliberal dan koperasi ibarat langit dan bumi. Kenapa? Ekonomi neoliberal menyerahkan perekonomian pada mekanisme pasar dan padat modal, dan yang terjadi kemudian yang kaya semakin kaya, dan orang miskin tetap melarat. Sedang koperasi bertujuan untuk memperjuangkan kemakmuran bagi anggotanya.
Kalau dilihat dari pertumbuhan koperasi, dari tahun ke tahun memang terjadi peningkatan, namun seiring dengan itu terdengar pula nasib buruk menimpa koperasi. Pada tahun 2010 misalnya, jumlah koperasi di Indonesia mencapai 170.411 unit dengan jumlah anggota 29,240 juta. Terjadi peningkatan 9,97% dibanding 2008. Dari segi volume usaha, pada 2010 mencapai Rp 82,1 triliun atau naik 19,95% dibanding volume usaha pada 2008. Tapi, angka capaian yang diperoleh koperasi itu belum bisa dikatakan sebuah keberhasilan yang pantas disambut dengan gegap gempita, Soalnya, anggota Majelis Pakar DEKOPIN (2010-2015), DR. Ir. Hj. Endang Setyawati Thohari, M.Sc., melihat lebih dari 10% koperasi yang ada di Indonesia itu sudah tidak aktif lagi. Dan, sebagian besar koperasi yang beroperasi lagi tersebut berada di daerah pedesaan, yang lebih dikenal sebagai Koperasi Unit Desa (KUD).
Padahal, menurut Ketua Bidang Koperasi HKTI (Himpunan Kerukunan Tani Indonesia) ini, KUD dalam perjalanannya merupakan salah satu basis sektor primer yang memberikan lapangan kerja terbesar bagi penduduk Indonesia. Artinya, kemandegan KUD menjadi cermin seretnya kemajuan perekonomian di pedesaan. Dan, ini membuat ancaman pengangguran di pedesaan semakin bertambah. Dari sini, kata Endang Thohari, tampak jelas bahwa kemauan pemerintah membangunan perekonomian berbasis kerakyatan, koperasi, belum sepenuh hati. Endang Thohari punya alasan menyatakan pemerintah tak serius memajukan perekonian di sektor koperasi ini. Karena, banyak program yang sesungguhnya bisa bermanfaat besar bagi masyarakat, namun tidak tersosialisasikan dengan baik. Salah satu contohnya, soal standarisasi aturan pendirian koperasi yang tidak jelas. Akibatnya, masing-masing notaris memiliki aturan yang berbeda-beda dalam menentukan persyaratan pendirian koperasi. Situasi ini diperparah lagi oleh kemauan pemerintah yang terlanjur memilih sistem ekonomi liberal sebagai jiwa pembangunan ekonomi Indonesia. Padahal ekonomi pedesaan pada umumnya dan koperasi khususnya, tidak mungkin dibiarkan sendiri “berperang” menghadapi para pengusaha yang memiliki modal raksasa. ”Seharusnya, pemerintah memberi perlindungan, perhatian dan bantuan lebih besar pada koperasi dan perekonomian desa,” ujar Endang Thohari.
Hambatan lain yang dihadapi koperasi atau ekonomi kerakyatan adalah dari sisi permodalan. Kemampuan koperasi, terutama KUD, untuk mendapatkan akses pembiayaan terkendala aturan main yang ada di bank. Padahal dana masyarakat yang terkumpul di bank sudah mencapai Rp 2.100 trilliun. Sesuai dengan ketentuan perbankan, 80% dari dana masyarakat itu seharusnya dikembalikan ke masyarakat dalam bentuk pinjaman atau Loan Deposit Ratio (LDR). Tapi, kenyataannya, hingga 2010 pengembalian dana atau LDR perbankan ke masyarakat, misalnya untuk sektor pertanian, baru mencapai 5%. Penyebabnya, tak lain, karena masyarakat kecil umumnya dan koperasi pada khususnya tidak sanggup memenuhi syarat untuk mendapatkan kucuran kredit yang dikenal dengan prudential bank berupa 5 C (capital, condition, character, capacity dan collateral).
Menurut Endang Thohari, dari kelima prudential bank itu yang paling sulit dipenuhi oleh koperasi adalah collateral atau agunan. Agunan berupa sertifikat tanah adalah paling layak oleh bank, tapi bagi petani cukup memberatkan. Karena, sebagian besar petani pemilik sawah belum tentu memiliki sertifikat. Syarat lainnya, yang juga sulit, adalah soal karakter hasil pertanian yang dikelola KUD memiliki risiko yang sangat besar. Perbankan menganggap syarat ini penting lantaran sifat barang-barang produk pertanian mudah rusak, dan tidak tahan lama
Kesimpulan

Di  Indonesia, koperasi cuma identik dengan Koperasi Unit Desa (KUD) di wilayah pedesaan yang bergerak di simpan pinjam. Koperasi identik dengan usaha ecek-ecek dan tidak dibranding menjadi sebuah usaha dengan karakteristik yang modern, professional dan bagus. Padahal koperasi seharusnya menjadi sokoguru perekonomian Indonesia, hanya saat ini dapat dikatakan kekurangan  banyak hal – hal yang membuat koperasi tidak di minati lagi oleh masyarakat bahkan Sumber Daya Manusia lokal pun enggan untuk  berpartisipasi dalam kegiatan koperasi, dengan adanya kondisi seperti ini menjadi pengurus koperasi pun bukan menjadi suatu pilihan utama, dan juga menjadi anggota atau pemberi dana kepada koperasi menjadi tidak diminati lagi.

SUMBER